-->

Pengen Buku Vibe Online

Mari Belajar Aneka Soal Pretest PPG silahkan klik Pre Test PPG PAI

Muamalah dan Riba

 


Breaking news Ebook soal olimpiade dan LCC PAI

Capaian Pembelajaran : Memahami konsep muamalah dan Riba

Uji kompetensi Awal Untuk mengetahui pengetahuan awal peserta didik silahkan klik di bawah ini

ASESMEN AWAL

Materi Ajar:

Simak komik berikut ini!

Muamalah adalah aktivitas perbuatan manusia dalam melakukan interaksi dengan sesama manusia. Allah Swt menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki saling ketergantungan antara satu dengan yang lain. Manusia membutuhkan interaksi antara satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari interaksi ini terjadilah aktivitas tukar menukar, sewa menyewa, pinjam meminjam, jual beli, dan lain sebagainya.

Allah Swt juga menciptakan manusia dengan potensi bertakwa dan berbuat jahat. Selain memiliki kecenderungan untuk bertakwa, manusia juga berpotensi memiliki sifat tamak dan rakus yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu perlu ada ketentuan yang mengatur interaksi itu agar menghasilkan kemaslahatan bersama dan terhindar dari kemaksiatan terhadap sesama.

Untuk tujuan inilah, Islam menetapkan syari’at yang dirinci oleh para ulama dengan ilmu fikih muamalah. Fikih muamalah adalah fikih yang berkaitan dengan aktivitas perbuatan manusia dalam melakukan interaksi dengan sesamanya. Fikih sendiri berarti hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia dewasa. Adapun fikih muamalah yang akan kalian pelajari pada bab ini adalah jual beli, hutang piutang, dan riba.

Simak Video Berikut Sebagai Pengantar

1. Jual Beli

Secara bahasa, dalam bahasa Arab, jual beli berarti al-bay’u yang berarti mengambil atau memberikan sesuatu. Secara istilah Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu. Cara-cara itu diatur dalam ketentuan fikih muamalah tentang jual beli. Di antaranya rukun, syarat, dan khiyar.

Hukum asal jual beli adalah mubah atau boleh. Meskipun demikian ada beberapa sebab yang bisa mengubah hukum asal ini. Jual beli bisa menjadi wajib apabila menjual merupakan suatu keharusan, seperti menjual untuk membayar hutang yang sudah jatuh tempo. Jual beli juga bisa menjadi sunah jika barang yang dijual sangat diperlukan oleh pembeli. Hukum jual beli pun bisa berubah menjadi haram apabila dilakukan dalam rangka kemaksiatan, seperti menjual barang haram, jual beli dengan tujuan merusak harga pasar, atau menjual barang yang bisa merusak ketentraman masyarakat.

Simak Video berikut 

a. Rukun dan Syarat Jual Beli

Agar jual beli sah, ada syarat tertentu yang harus dipenuhi pada tiaptiap rukun jual beli. Syarat-syarat itu dapat kalian baca pada tabel berikut.


b. Khiyar

Di dalam fikih muamalah tentang jual beli dikenal istilah khiyar. Khiyar artinya memilih antara dua hal, yakni meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya. Adanya ketentuan tentang khiyar agar pihak yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian hari atas transaksi jual beli yang sudah dilakukan.

Khiyar ada tiga macam, yaitu khiyar majelis, syarat, dan ‘aibi. Perhatikan tabel berikut untuk mempelajari lebih lanjut tentang macam-macam khiyar ini.


2. Hutang Piutang

Ada dua kata dalam bahasa Arab yang diartikan sebagai hutang piutang, yaitu dayn dan qarḍ. Dalam bahasa Indonesia dua kata ini sama-sama diartikan dengan hutang piutang. Akan tetapi dalam fikih muamalah dua kata ini memiliki perbedaan. Perbedaan di antara dua kata ini memiliki dampak hukum dalam pelaksanaan fikih muamalah.

Perhatikan tabel berikut untuk memahami perbedaan istilah dayn dan qarḍ yang sama-sama berarti hutang piutang.


Pada dasarnya memberi hutang hukumnya boleh. Bahkan jika memberi hutang kepada orang yang berhutang dipahami sebagai bagian dari kebaikan dalam membantu sesama, maka hukumnya menjadi sunah. Bahkan memberi hutang bisa menjadi wajib apabila orang yang berhutang berada pada situasi darurat yang sangat memerlukan bantuan hutang dari orang lain. Di sisi lain pemberian hutang juga bisa menjadi haram, jika diketahui bahwa hutang yang diberikan akan digunakan untuk kemaksiatan.

Islam mengajarkan ketika seseorang memberikan pinjaman hutang, maka ia dianjurkan untuk menagih hutang dengan cara yang baik dan menunggu sampai orang yang memiliki hutang mampu membayar hutangnya. kadang-kadang orang yang berutang tidak selamanya bisa membayar tepat waktu. Bisa jadi karena terkena musibah, ada kebutuhan yang sangat mendesak, dipecat dari pekerjaan, atau alasan lainnya.

👉 baca juga Sombong Yang Terselubung

Sedangkan mengembalikan hutang hukumnya wajib. Setiap orang yang berhutang, fardu ain hukumnya untuk membayar hutangnya. Meskipun orang yang menghutangi tidak menagihnya, orang yang berhutang tetap wajib membayarnya. Pada saat orang yang berhutang sudah memiliki uang untuk melunasi hutangnya, ia tidak boleh menunda-nunda pelunasan hutang. Jika ada orang yang mampu membayar hutang, tetapi selalu ditunda-tunda, maka orang itu sudah berbuat zalim.

Agar hutang piutang sah, maka ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat hutang piutang hampir sama dengan jual beli. Bedanya terletak di kalimat ijab dan kabul dalam akad perjanjiannya. Rukun hutang piutang terdiri dari orang yang berhutang dan berpiutang, barang atau harta yang dihutangkan, dan akad (ijab kabul) hutang piutang.

Seperti jual beli, ada syarat tertentu yang harus dipenuhi pada tiap-tiap rukun, agar hutang piutang sah secara hukum. Syarat-syarat itu dapat kalian baca pada tabel berikut.


Ada beberapa anjuran yang diajarkan dalam Islam apabila terjadi transaksi hutang piutang. Anjuran ini terdapat dalam Q.S. al-Baqarah/2:282. Anjuran itu adalah menuliskan hutang piutang, menghadirkan saksi, dan memberikan jaminan. Dengan demikian pihak yang berhutang akan terikat dalam tanggung jawab untuk melunasi hutangnya.

Yuk Kerjakan uji Formatif Berikut ini, klik disini

3. Riba

Riba berasal dari kata dalam bahasa Arab yang berarti lebih atau bertambah. Secara istilah riba berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta.

Secara umum, riba terbagi menjadi dua macam. Yaitu Riba Nasi'ah dan Riba Fadal.

a. Riba Nasi'ah

Riba yang tambahannya disyaratkan oleh pemberi hutang kepada orang yang hutang sebagai imbalan dari penundaan atau penangguhan bayaran

Contoh:

Bu Rini membeli beras 10 kg kepada Bu Siti. Harga 1 kg beras Rp. 7.500. Karena pada saat sedang tidak mempunyai uang, Bu Rini meminta penagguhan pembayaran kepada Bu Siti sampai bulan depan, sehingga Bu Runi berhutang kepada Bu Siti sejumlah Rp. 75.000,-. Sebulan kemudian, pada waktu Bu Rini mau membayar hutangnya, harga beras naik menjadi Rp.8000,- per kg. Bu Siti minta Bu Rini membayar hutangnya sebesar harga beras pada saat itu, yakni Rp.80.000,- Kelebihan Rp.5000,- rupiah sebagai akibat penundaan pembayaran ini disebut riba nasi’ah


b. Riba Fadal

Tukar menukar barang yang sejenis dengan disertai kelebihan atau tambahan pada salah satunya

Contoh:

Pak Yanto memiliki 10 kg beras dengan kualitas baik. Sedangkan Pak Yadi memiliki 15 kg beras dengan kualitas jelek. Pak Yanto dan Pak Yadi saling menukar beras kepunyaan mereka itu. Pak Yanto membutuhkan beras kualitas jelek untuk makanan ternaknya, sedangkan Pak Yadi membutuhkan beras kualitas baik untuk dikonsumsi. Kelebihan 5 kg beras Pak Yadi disebut dengan riba faḍal

Praktik riba sangat merugikan masyarakat kecil. Misalnya pada contoh riba nasi’ah. Masyarakat kecil seperti Bu Rini akan sangat terbebani dengan tambahan uang yang harus dikembalikan kepada Bu Siti. Dengan hutang yang bertambah seperti pada contoh, Bu Rini akan semakin kesulitan untuk melunasinya. Bahkan dalam jangka panjang hutang Bu Rini akan terus menumpuk dan bertambah besar. Oleh karena itu, Islam mengharamkan riba. Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2:275 sebagai berikut.

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ


Artinya :

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Untuk lebih memahami berbagai istilah yang sudah dipelajari, kita bermain mencari kata-kata istilah dalam muamalah


4. Jual Beli Online

Penjelasan tentang ketentuan jual beli yang kalian baca pada sub bab sebelum ini merupakan produk hukum Islam pada saat jual beli masih dilakukan dalam bentuk tatap muka. Keberadaan penjual, pembeli, maupun barang yang dijual belikan sama-sama hadir secara fisik. Demikian juga dengan akad ijab kabul yang dilakukan secara langsung antara penjual dan pembeli. 

Pada era digital sekarang ini, praktik jual beli mengalami pergeseran. Hadirnya teknologi digital menyebabkan terjadinya praktik jual beli online atau daring. Baik penjual, pembeli, maupun barang yang dijual belikan tidak hadir secara fisik, melainkan saling berjauhan. Akad ijab kabul juga tidak dilakukan secara langsung. Proses transaksi terjadi di ruang virtual yang difasilitasi oleh internet.

Kalian tentu sudah mengenal berbagai aplikasi jual beli online. Pernahkah kalian melakukan transaksi menggunakan aplikasi jual beli online? Pernahkah kalian bertanya bagaimanakah fikih muamalah melihat perkembangan ini?

Siswa yang budiman, dalam jual beli online, penjual, pembeli, barang yang dijual belikan, serta akad jual beli memang tidak berlangsung secara tatap muka. Penjual dan pembeli dipisahkan oleh ruang yang berbeda. Barang yang dijual belikan juga tidak  dilihat secara langsung oleh pembeli. Akad ijab kabul juga tidak terjadi secara langsung.


Meskipun demikian aktivitas jual beli online pada dasarnya tetap memenuhi rukun dalam fikih muamalah. Penjual dan pembeli, meskipun tidak dalam satu majelis, keduanya ada. Pemeriksaan barang yang dijual bisa dilakukan dengan melihat gambar atau video dan spesifikasi produk yang dijual. Sedangkan akad ijab dan kabul diwakili oleh aplikasi permohonan barang oleh pihak penjual serta pengisian aplikasi oleh pihak pembeli.

Oleh karena itu, secara umum jual beli online merupakan aktivitas yang diperbolehkan. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah agar transaksi jual beli online tidak mengandung unsur penipuan, judi, dan riba. Dalam hal ini nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kepercayaan menjadi faktor penting dalam jual beli online.


5. Jual Beli Secara Kredit Menggunakan Leasing

Jual beli secara kredit adalah transaksi jual beli yang pembayarannya dilakukan setelah penyerahan barang dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Kalian tentu sudah mengetahui praktik jual beli kredit. Misalnya kredit mobil, motor, ponsel, perabotan rumah tangga dan lain-lain. Jual beli kredit seperti ini menjadi pilihan banyak orang karena dengan dana yang terbatas, dapat membawa pulang barang yang diinginkan. Meskipun demikian pembeli harus mengalokasikan dana lebih besar untuk mengangsur pembayarannya.

Secara umum, para ulama berpandangan bahwa jual beli kredit hukumnya boleh dan halal. Kebolehan jual beli kredit dikarenakan transaksi yang dilakukan berdasarkan akad jual beli, bukan hutang piutang. Transaksi ini memang melahirkan kewajiban/hutang di sisi pembeli yang menyebabkan adanya tambahan harga karena dibayarkan secara kredit. Namun bentuk hutangnya bukan qarḍ, melainkan dayn, Pada dasarnya akadnya tetap jual beli dan harga disepakati antara penjual dan pembeli.

Meskipun demikian terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama apabila jual beli kredit melibatkan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksudkan adalah lembaga keuangan (finance). Praktik jual beli kredit seperti ini disebut dengan leasing. Dalam leasing, pihak penjual memindahkan penagihan pembayaran kepada lembaga keuangan. Pembeli tidak lagi berhutang kepada penjual melainkan kepada finance/leasing yang membayar pembelian barang ke pihak penjual.

Sebagian ulama, khususnya yang mengikuti mazhab Syafi’i berpandangan bahwa jual beli kredit melalui leasing sah dan halal. Pandangan ini didasarkan pada analisa bahwa transaksi yang digunakan dalam leasing adalah akad syuf’ah atau sistem akuisisi yang diperbolehkan dalam fikih muamalah. Dalam akad syuf’ah, barang yang dibeli menjadi milik bersama (māl musytarak) antara pembeli dengan finance. Jika angsuran dari pembeli sudah selesai, maka kepemilikan harta berpindah kepada pihak pembeli.

Sebelum angsuran lunas, barang itu tetap menjadi milik bersama sesuai dengan kesepakatan. Namun ada juga pendapat yang berbeda, yang menilai jual beli kredit menggunakan leasing termasuk praktik riba. Pendapat ini didasarkan pada penilaian bahwa transaksi yang terjadi antara pembeli dan pihak finance adalah akad hutang piutang qarḍ, yaitu pihak pembeli meminjam uang kepada pihak bank untuk membeli barang kepada pihak penjual. Pihak pembeli berkewajiban membayar uang yang dipinjam ke pihak finance dengan cara mengangsur sejumlah uang yang dipinjam ditambah dengan bunga pinjaman. Bunga pinjaman inilah yang dipahami sebagai kelebihan dalam akad hutang piutang sehingga bernilai riba dan hukumnya haram



6. Bunga Bank

Sebagian dari kalian tentu sudah pernah bertransaksi dengan bank. Misalnya bagi para penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP). Pemerintah memberikan bantuan tunai kepada penerima KIP melalui bank. Uang bantuan disimpandi dalam rekening bank. Penerima KIP dapat mengambil uang bantuan itu untuk keperluan untuk membeli perlengkapan sekolah/kursus, uang saku dan biaya transportasi , dan lain sebagainya.

Selain berfungsi menyimpan dana masyarakat melalui tabungan, seperti dana KIP, bank juga dapat berfungsi menyalurkan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan melalui sistem kredit atau pinjaman. Masyarakat dapat mengajukan pinjaman dana ke bank dalam bentuk hutang piutang. Masyarakat dapat menggunakan dana pinjaman itu untuk berbagai macam keperluan, seperti modal usaha, membangun rumah, atau keperluan lain yang membutuhkan dana besar. Masyarakat harus mengembalikan dana pinjaman itu dengan cara mengangsur. Angsuran itu terdiri dari pembayaran dana yang dipinjam beserta bunga bank yang dikenakan kepada nasabah.

Para ulama berbeda pandangan terhadap kehalalan bunga bank ini. Belum ada kesepakatan (ijmā’) di antara para ulama tentang bunga bank. Apakah termasuk riba yang diharamkan dalam fikih muamalah ataukah tidak. Perbedaan pandangan tentang bunga bank merata di seluruh dunia Islam. Perbedaan itu juga terjadi di antara ulama-ulama di Indonesia. Sebagian ulama memahami bahwa bunga bank merupakan riba. Pandangan ini menilai bunga bank merupakan tambahan yang bernilai riba nasi’ah. Sebab akad yang terjadi antara peminjam dan bank adalah akan hutang piutang. Sementara akad hutang piutang tidak membolehkan adanya kelebihan dalam pembayaran hutang. Kelebihan dalam mebayar hutang termasuk riba nasi’ah yang hukumnya haram. Di antara ulama yang menganggap bunga bank sebagai riba adalah Dr. Yusuf Qardawi (Mesir) dan Syaikh bin Baz (Arab Saudi).

Ada sebagian ulama yang memandang bunga bank sebagai bagi hasil keuntungan usaha. Meski pembagian hasil itu sudah ditentukan nilainya di awal, hal itu sah karena sudah melewati proses saling riḍha di antara kedua belah pihak. Dengan demikian bunga bank bukan termasuk riba yang diharamkan. Karenanya pandangan ini menyimpulkan bahwa bunga bank halal. Di antara ulama yang berpandangan seperti ini adalah Syeikh Mahmud Syaltut dan Dr. Ali Jum’ah dari Universitas Al-Azhar Mesir.

Di Indonesia, organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank termasuk riba sehingga hukumnya haram. MUI mengeluarkan fatwa haram pada tahun 2003, sedangkan Muhammadiyah mengelurkannya pada tahun 2010. Dua ormas itu mendorong umat Islam agar berpindah dari bank konvensional yang berbabis bunga ke bank syariah yang menggunakan sistem bagi hasil. Meskipun demikian Muhammadiyah masih menerima faktor kedaruratan. Bagi umat Islam yang tidak memiliki pilihan selain menggunakan transaksi perbankan, maka hukumnya menjadi boleh dan halal.

Para ulama yang tergabung dalam Nahdhatul Ulama juga belum bersepakat tentang bunga bank. Pada Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992, terdapat tiga pendapat tentang hukum bunga bank. Pendapat pertama menyamakan bunga bank dengan riba, karenanya hukumnya haram. Pendapat kedua tidak menyamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya halal. Pendapat ketiga berpandanngan bahwa bunga bank termasuk masalah syubhat. Meskipun demikian, Munas memandang perlu untuk mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bunga bank adalah masalah khilāfiyah. Ada ulama yang menyamakannya dengan riba sehingga hukumnya haram. Ada yang menganggapnya bukan riba sehingga halal. Terhadap perbedaan seperti ini, kita harus mengedepankan toleransi dan sikap saling menghargai. Soal pendapat mana yang dipilih dikembalikan kepada kemantapan hati masing-masing.


7. Nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kepercayaan dalam fikih muamalah


Siswa yang budiman, mengapa permasalahan muamalah seperti transaksi jual beli dan hutang piutang perlu diatur sedemikian rupa? Seperti yang sudah dijelaskan di awal pembahasan bab, hal ini dikarenakan manusia memiliki potensi sifat tamak dan rakus. Jika tidak dibatasi, sifat tamak dan rakus ini bisa menyebabkan kerugian pihak lain. 

Sifat tamak dan rakus itu bisa menyebabkan manusia memakan makanan dengan cara batil. Misalnya dengan mempraktikkan riba, memakan yang bukan haknya, dan mendapatkan keuntungan jual beli dengan cara menipu. Praktik-praktik semacam ini jamak terjadi pada masa jahiliyah. Salah satunya adalah praktik riba yang cenderung menipu dan mengeksploitasi masyarakat miskin. Oleh karena itulah riba dilarang dalam Islam.

Melalui fikih muamalah, Islam ingin menghadirkan praktik jual beli dan hutang piutang yang adil berdasarkan kejujuran, tanggung jawab, dan kepercayaan. Misalnya, dengan adanya akad yang harus ada dalam jual beli ataupun hutang piutang, dua belah pihak memiliki kesepakatan yang jelas dalam bertransaksi semenjak awal. Tidak ada pihak yang bisa menipu pihak yang lain. Dengan demikian adanya akad pada dasarnya mengajarkan kejujuran sebagai nilai utama dalam bertransaksi.

Demikian juga dengan tanggung jawab. Adanya akad yang jelas dalam hutang piutang, ditambah anjuran untuk mencatat hutang, mengadakan saksi, dan memberikan jaminan, mendorong orang yang berhutang agar bertanggung jawab dalam membayar hutang. Sikap tanggung jawab itu juga bermakna menjaga kepercayaan orang yang memberi hutang. Sebab pada dasarnya orang akan bersedia memberikan hutang hanya jika ia percaya bahwa orang yang berhutang itu bisa melunasinya.

Kejujuran dan tanggung jawab dalam bermuamalah akan melahirkan kepercayaan. Seseorang yang dikenal jujur dan bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari banyak pihak dalam melakukan kerjasama jual beli maupun hutang piutang. Peluang kerjasama ini bisa membuka keuntungan yang besar. Orang tidak akan ragu bertransaksi jual beli dengan seorang yang jujur dan bertanggungjawab. Seorang yang dikenal jujur dan bertanggung jawab juga tidak akan kesulitan mengajukan pinjaman dana ke pihak lain, baik untuk tambahan modal usaha maupun kepentingan yang lain.

Sebaliknya, jika kejujuran dan tanggung jawab tidak dimiliki oleh seseorang, ia akan kesulitan mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Jika dia mengembangkan jual beli, tidak banyak yang percaya bertransaksi dengannya. Jika dia mengajukan pinjaman ke pihak lain, baik dari perorangan maupun lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan lain sebagainya, ia juga akan kesulitan mendapatkannya.

Sumber : Buku Pendidikan Agama Islam Kelas VIII Penerbit Kemendikbud RI


Asesmen Sumatif :

Kerjakan tes berikut dengan klik Tes Tertulis

Tes Produk, isi gform berikut!


Pengayaan

Soal Numerasi Muamalah dan Riba.

  1. Bu Amalia membeli beras 20 kg kepada Bu Hani. Harga 1 kg beras Rp. 15.000. Karena pada saat sedang tidak mempunyai uang, Bu Amalia meminta penagguhan pembayaran kepada Bu Hani sampai bulan depan, sehingga Bu Amalia berhutang kepada Bu Hani sejumlah Rp. ...............
  2. Sebulan kemudian, pada waktu Bu Amalia mau membayar hutangnya, harga beras naik menjadi Rp.17.000,- per kg. Bu Hani minta Bu Amalia membayar hutangnya sebesar harga beras pada saat itu, yakni Rp...... 
  3. Maka besar Kelebihan Rp. ....       sebagai akibat penundaan pembayaran ini disebut riba .... 


0 Response to "Muamalah dan Riba"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel