-->

Pengen Buku Vibe Online

Mari Belajar Aneka Soal Pretest PPG silahkan klik Pre Test PPG PAI

Selama buku masih dipersulit masuk ke tangan siswa, jangan bermimpi bangsa ini bisa berlomba di era pengetahuan

Pemandangan siswa di Cina yang tetap membaca buku meski hanya saat mengantre di kantin seharusnya menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan kita. Di sana, buku bukan lagi sekadar kewajiban sekolah, melainkan bagian dari kebutuhan hidup. Di sini? Membaca masih terasa asing di luar ruang kelas. Budaya literasi kita tak hanya lemah, tapi nyaris mandek.


Salah satu akar masalahnya adalah betapa sulitnya buku masuk ke dalam keseharian siswa Indonesia. Ironis, di saat pemerintah berteriak tentang pentingnya literasi, sekolah-sekolah justru dilarang keras menjual buku. Berdalih menghindari komersialisasi, kebijakan ini malah mematikan akses siswa terhadap bacaan bermutu. Akibatnya, siswa harus bergantung pada perpustakaan yang koleksinya seringkali tidak memadai, usang, dan tidak menarik minat.


Lebih parah lagi, keberadaan toko buku semakin langka. Di banyak daerah, mencari toko buku seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Tidak semua keluarga punya akses ke toko buku besar, dan tidak semua orang tua punya kesadaran literasi yang tinggi. Jadi, jika siswa tidak bisa membeli buku di sekolah, dan sulit menemukan toko buku di sekitar rumah, bagaimana mungkin kita berharap budaya membaca tumbuh?


Sementara itu, gawai terus merajalela. Di tangan siswa, ponsel lebih sering menjadi teman antrean daripada buku. Game, media sosial, dan konten kosong lebih mudah diakses daripada bacaan yang mencerahkan. Kita menutup pintu terhadap buku, tapi membiarkan pintu dunia digital terbuka lebar tanpa kendali.


Sudah saatnya kita berhenti bersembunyi di balik jargon “Gerakan Literasi Sekolah” yang hanya sebatas seremonial. Kita perlu membenahi akar masalah: berikan akses mudah terhadap buku! Jika perlu, buka kembali ruang di sekolah untuk distribusi buku bermutu, dengan pengawasan ketat untuk menghindari komersialisasi berlebihan. Hidupkan kembali toko buku, bahkan jika harus dengan dukungan negara.


Literasi tidak tumbuh dari program-program tempelan. Ia tumbuh dari kemudahan akses, dari kebiasaan kecil yang dibangun setiap hari, dari suasana yang membuat membaca menjadi bagian alami dari hidup anak-anak kita — persis seperti yang ditunjukkan siswa-siswa di Cina itu.


Jika tidak, bersiaplah untuk terus menyaksikan ironi: dunia melaju dengan kecepatan literasi, sementara kita sibuk bergurau di antrean kantin.

Sulit membeli buku, mudah membeli kuota — pantas saja kita lebih cepat scroll layar daripada membuka halaman buku.

0 Response to "Selama buku masih dipersulit masuk ke tangan siswa, jangan bermimpi bangsa ini bisa berlomba di era pengetahuan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel