Budaya membaca tak mungkin tumbuh di tanah yang membiarkan buku langka dan ponsel meraja
Beberapa waktu lalu, jagat media sosial diramaikan dengan sebuah pemandangan sederhana namun mengesankan: siswa-siswa di Cina yang tetap asyik membaca buku meski sedang mengantre makanan di kantin sekolah. Tanpa paksaan, tanpa pengawasan guru, membaca tampak menjadi bagian alami dari keseharian mereka. Sekilas, adegan itu tampak biasa saja. Namun jika dibandingkan dengan kebiasaan siswa di Indonesia, pemandangan tersebut justru menyimpan ironi yang dalam.
Di Indonesia, kebiasaan membaca di luar jam pelajaran masih menjadi hal yang langka. Alih-alih memegang buku, antrean di kantin sekolah kita lebih sering dihiasi oleh siswa yang sibuk bermain ponsel atau bercanda tanpa arah. Membaca, dalam banyak kasus, masih dipandang sebagai tugas, bukan kebutuhan. Bahkan, minat membaca siswa kita sering kali hanya bergantung pada tugas sekolah yang mewajibkan mereka untuk melakukannya.
Perbedaan ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ia berakar pada budaya literasi yang dibangun sejak dini. Di Cina, upaya menumbuhkan budaya membaca bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Buku hadir di setiap sudut kehidupan anak-anak: di rumah, di taman, di tempat umum, bahkan di sela antrean. Membaca menjadi bagian dari gaya hidup.
Sementara di Indonesia, meski gerakan literasi sekolah (GLS) telah dicanangkan bertahun-tahun, penerapannya belum merata. Buku-buku di perpustakaan seringkali terbatas dan kurang menarik, kegiatan membaca masih dipandang sebagai seremoni formal lima belas menit sebelum pelajaran dimulai. Dukungan keluarga pun belum sepenuhnya kuat, karena tidak semua orang tua terbiasa membaca di rumah.
Perlu kita akui dengan jujur: budaya membaca tidak bisa dibangun hanya dengan slogan atau program musiman. Ia harus menjadi napas dalam keseharian siswa, sebagaimana anak-anak Cina yang tetap menggenggam buku bahkan saat menunggu makan siang.
Lantas, apa yang bisa kita pelajari? Pertama, kita perlu mengubah cara pandang bahwa membaca bukan sekadar tugas sekolah, melainkan bagian dari kehidupan. Kedua, memperbanyak akses terhadap buku yang menarik dan relevan dengan minat siswa. Ketiga, melibatkan keluarga sebagai bagian penting dari ekosistem literasi. Membaca harus dimulai dari rumah, dengan teladan nyata dari orang tua.
Akhirnya, momen sederhana seperti membaca saat mengantre di kantin bukan sekadar tentang buku di tangan, melainkan tentang mentalitas bangsa. Sebuah mentalitas yang percaya bahwa ilmu pengetahuan bisa diperoleh di mana saja, kapan saja — asalkan ada kemauan.
Sudah saatnya kita bercermin dan bertanya: maukah kita membangun budaya membaca yang sesungguhnya?
0 Response to "Budaya membaca tak mungkin tumbuh di tanah yang membiarkan buku langka dan ponsel meraja"
Post a Comment